How to Make a God

Jaman dahulu banyak orang menyembah kepada dewa-dewa. Mesir memiliki banyak dewa-dewa yang mereka percaya sebagai tuhan mereka. Setiap dari dewa tersebut memiliki peran masing-masing untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan tanah mereka. Sebagian memiliki peran dalam penciptaan, sebagian bertugas sebagai pemberi hujan, sebagian memberikan perlindungan, sebagian bertugas mengurus orang-orang yang yang sudah meninggal, dan beberapa yang lain berperan sebagai dewa-dewa kecil. Orang Mesir percaya sejarah mereka dimulai dari dewa yang bernama Nut. Dari Nut muncul Atum yang mereka sebut sebagai “the first god of egypt”, dan dari dialah muncul dewa-dewa lainnya. Di bagian lain, bangsa Yunani (Greek) pun memiliki dewa-dewa mereka. Beberapa yang terkenal seperti Zeus, yang merupakan salah satu dewa penguasa dalam kebudayaan Yunani. Dewa lainnya seperti Aphrodite sebagai dewa kecantikan, Ares sebagai dewa perang, Artemis sebagai dewa kesuburan dan kekayaan, dll.

Meski tiap daerah memiliki dewa yang berbeda, namun setiap kebudayaan ini memiliki persamaan didalam cara penyembahan mereka. Mereka memiliki suatu ritual penyembahan terhadap dewa-dewa mereka. Setiap dewa biasa memiliki “bait” nya atau tempat penyembahan, dimana mereka memberikan suatu persembahan sehingga mereka mendapat berkat atau supaya kehidupan mereka terjamin.
Persembahan mungkin berupa binatang, rempah-rempah, membakar dupa, atau bahkan ada yang sampai menyerahkan anak mereka supaya dewa mereka tidak marah. Pada dasarnya, diperlukan suatu pengorbanan untuk memuaskan keinginan hati dewa / ilah mereka. Dewa inilah “tuhan” mereka.

Orang modern memiliki cara berpikir berbeda, mereka tidak percaya akan hal-hal mistis, namun lebih menitik beratkan kepada hal-hal rasio. Oleh karena itu bagi manusia modern, atau bagi kita yang hidup dijaman sekarang, jarang kita temui hal-hal diatas. Namun meski konteks jaman yang berbeda, tidaklah sulit bagi kita yang hidup dijaman sekarang untuk membuat dewa atau “tuhan” bagi diri kita. Bahkan kenyataannya, banyak dari kita sudah menerapkan prinsip pembuatan ilah dan cara-cara worship / penyembahan seperti yang disebut diatas didalam kehidupan sehari-harinya. Bagaimana caranya?

How To’s
Pikirkanlah dan renungkan hal apakah yang sangat berharga bagi diri kita? Sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang menhabiskan segala perhatian dan imajinasi kita, sesuatu yang selalu kita cari, sesuatu yang sangat mendasar dimana bila kita kehilangan hal tersebut maka hidup kita menjadi kurang berarti atau tidak berarti lagi. Segala sesuatu bisa menjadi “tuhan” kita, “tuhan” kita adalah sesuatu yang sangat mengikat dan mengkontrol hati kita dimana kita bisa dengan mudah menghabiskan hasrat, energi, emosi, keuangan kita untuk diberikan kepada “tuhan” kita tanpa kita berpikir banyak. “Tuhan” kita bisa dimulai dari keluarga, anak, karir, uang, achievement (prestasi), prestige, pride, kemampuan, perasaan untuk diterima orang lain, suatu perasaan romantik atau kasih sayang, kegiatan sosial, atau bahkan pelayanan kita digereja. Hal-hal ini bisa menjadi god of success kita, work gods, sex gods, money gods, war gods, nation gods, god of ministry, dll.

Dan seperti halnya dengan orang jaman dahulu dimana pengorbanan diperlukan didalam “worship” kepada “tuhan-nya”, demikian juga jaman sekarang pengorbanan pun diperlukan. Bila jaman dahulu orang membuang anaknya kedalam gunung berapi untuk dikorbankan kepada dewa gunung, maka jaman sekarang pun orang “mengorbankan” / sacrifice anak mereka (dengan menelantarkan / tidak memperhatikan pendidikan dan hidup anak) untuk dewa kesuksesan atau dewa business mereka. Bagi orang lain yang perlu dikorbankan adalah uang mereka sebagai bentuk penyembahan kepada dewa fashion, dewa persahabatan, dewa cinta, ataupun kepada dewa uang (mengorbankan uang demi uang yang lebih besar). Bagi sebagian yang lain, dewa pelayanan membutuhkan sacrifice yang lebih besar yaitu keluarga mereka (tidak peduli kebutuhan keluarga, dll), ataupun ada yang sebaliknya dewa keluarga membutuhkan pengorbanan akan pelayanan dan tanggung jawab didalam persekutuan gereja. Suatu konsep yang sangat lazim untuk melakukan “sacrificial” act ini, karena dengan melakukan sacrifice sebagai suatu bentuk worship, dipercaya akan memberikan keuntungan yang lebih.

Sebagaimana orang jaman dahulu lakukan, demikian juga orang jaman sekarang dengan “tuhan” mereka, mereka sangat mengasihinya, mempercayainya, dan mentaatinya (love, trust, and obey “god”). Pertanyaan bagi diri kita: apakah kita memiliki “tuhan” atau ilah dalam hidup kita? Apakah kita secara tidak sadar mengasihi akan sesuatu hal, mempercayakan harapan kita akan suatu hal dan mau tidak mau terus mengejar suatu hal tersebut sebagai wujud ketaatan kita?

Caveat
Diatas kita sudah mengetahui bagaimana cara membuat bagi diri kita sebuah “tuhan”. Sebenarnya kita “menyembah” tuhan tersebut karena pada dasarnya kita mengharapkan kenikmatan hidup, yang kita inginkan adalah suatu hal yang dapat mengisi hati kita, hidup sebagai a “pursuit of happiness”, oleh karena itu kita mempertuhankan “tuhan” atau ilah itu agar kita mendapatkan sesuatu imbalan yang lebih baik.

Namun dibagian akhir ini saya akan memberikan sedikit warning, bagi kita yang mau membuat “tuhan” bagi diri kita sendiri seperti yang ditulis diatas. Bila kita melihat “tuhan” orang jaman dahulu yang berupa patung, sampai “tuhan” orang jaman sekarang (yang lebih bersifat subtle / sulit dilihat), mereka memiliki suatu persamaan yang seringkali kita tidak sadar, yang membawa kita makin terjerumus kedalamnya. Kita tidak sadar, “tuhan” atau ilah seperti ini adalah tuhan yang “haus akan darah” / tidak pernah puas. Mereka adalah “tuhan” yang sulit sekali untuk dipuaskan, dan justru akan terus meminta “imbalan” kepada kita. Adakah kita berhenti “menyembah” dewa kesuksesan? Mari lihat orang yang workaholic (orang yang memiliki work gods atau god of success), mereka sulit sekali untuk berhenti “menyembah” dan “memuaskan” keinginan “tuhannya” yang memintanya untuk terus mengorbankan (sacrifice) keluarganya, dan kesehatannya.

Semua dewa / “tuhan” diatas memiliki suatu power yang menghancurkan hidup kita baik dimasa sekarang maupun didalam kekekalan. Hanya satu Tuhan yang tidak membawa hidup kita kepada kehancuran yaitu Tuhan yang sejati, Tuhan yang menampakkan diriNya diatas gunung Sinai dan diatas kayu salib. Dialah Tuhan satu-satunya yang hanya bisa mengisi kekosongan hati kita yang paling dalam. Tuhan yang sejati adalah Tuhan yang tidak dicipta, namun yang mencipta keberadaan kita. Dan bilamana kita dikenalNya, dan kita mengenalNya, orang-orang seperti ini pun didalam hubungannya mereka pun: love the true God, trust the true God, and obey the true God.

Pertanyaan bagi diri kita: apakah kita secara jujur sudah benar-benar love, trust, and obey this true God? Renungkan.

Conclusion
Kita bisa membuat “tuhan” bagi diri kita, namun demikian Tuhan yang sejati tetap ada meski kita tidak mengganggapNya. Tuhan yang adalah permulaan dan akhir, Dia yang akan menjadi hakim seluruh umat manusia, akan menghakimi setiap kita seturut dengan apa yang kita perbuat. Semua manusia berdosa, namun bagi kita yang dipilihnya, maka Dia (Tuhan yang sejati yang telah menjadi manusia) yang adalah hakim (the judge) akan menjadi penyelamat (saviour) kita. The truth will always be there, it will always true no matter what we like it or not, no matter what we believe it or not.


~ PoL
(my reflection which was excerpted from “Counterfeith Gods”)

Comments