The Outer Life of Witness

Hidup anak-anak Tuhan bukanlah hidup sendiri, kita hidup bersosialisasi dengan orang lain, hidup ditengah-tengah jaman yang makin lama makin berdosa. Di suatu waktu mungkin kita be-relasi dengan orang yang jauh lebih dewasa secara rohani dengan kita, dilain waktu kita be-relasi dengan orang yang jauh lebih muda secara rohani dibanding diri kita, atau bahkan kita berhubungan dengan orang yang menolak Kristus. Kita tidak tahu apakah orang tersebut suatu saat akan mengenal Tuhan, atau dia akan terus bertumbuh, atau suatu saat justru akan undur imannya dan menolak Kristus. Lalu bagaimana kita sebagai murid Tuhan bersikap terhadap orang lain?

Mat 5:13 "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Mat 5:14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.

Fondasi dasar hubungan kita terhadap orang lain, tertulis didalam ayat diatas. Didalam Matius 5, kita (murid Kristus) adalah garam dan terang dunia. Murid Kristus bukannya mencoba menjadi garam dan terang dunia, namun mereka adalah garam dan terang dunia itu, dan tujuan dari sikap hidup kita terhadap orang lain ada terdapat didalam ayatnya yang ke 16, yaitu: "...supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga". Inilah tujuan relasi kita terhadap orang lain, yaitu supaya merekapun memuliakan Bapa kita yang disorga. Pertanyaannya bagi kita adalah: apakah relasi kita terhadap orang lain membawa orang lain makin mengenal dan memuliakan Bapa kita yang disorga?

Seperti tujuan yang dikatakan didalam Matius 5 (yaitu membawa orang memuliakan Bapa kita yang disorga - membawa mereka dekat kepada Tuhan), maka sebenarnya bisa dikatakan seluruh hidup kita seharusnya adalah hidup sebagai suatu "edification" terhadap orang lain dan diri sendiri (atau hidup yang membangun diri dan orang lain). Mengapa diri sendiri? Pertumbuhan rohani bukan hanya diukur didalam ukuran secara vertical, namun pertumbuhan rohani seharusnya terkait dengan hubungan horizontal. Ketika kita membangun orang lain makin menyerupai Kristus, disitu sebenarnya rohani kita pun bertumbuh. Dengan berelasi dengan orang lain, pasti ada "gesekan", dan disitu kita makin dilatih sehingga diri kita makin rendah hati, makin lemah lembut, makin sabar, dll.

Bila seorang muda ingin mempelajari kungfu, dan kemudian ia mencoba mencari seorang guru yang sangat hebat. Tidak mungkin ia mau belajar kepada seorang yang tidak bisa kungfu sama sekali bukan? atau bahkan mungkin ia ketika menemukan seorang guru yang bisa kungfu pun, ia akan melihat apakah orang tersebut benar-benar mahir atau tidak, mungkin ia akan mengujinya dengan kemampuan yang ia miliki sendiri. Atau mungkin bila kita seorang pianis, dan kita mau menjadi guru, pasti kita akan melatih diri kita mahir bermain piano, kalau perlu kita memiliki ijazah dimana orang lain bisa melihat bahwa kita bisa bermain dengan baik, dan mampu mengajar. Demikan pula dengan hidup kita didalam kita menuntun / membina / mengajar orang lain, maka hal pertama yang harus kita bina / ajar / didik adalah diri kita terlebih dahulu. Ketika kita mengajar orang untuk saat teduh setiap hari, adakah diri kita saat teduh setiap harinya? ketika kita mengajar orang untuk menolong, adakah kita terlebih dahulu menolong, ketika kita mengatakan kasih adakah diri kita mengasihi, ketika kita mengajarkan akan kasih Allah, adakah diri kita merasakan dan mengenal kasih Allah tersebut?

Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin men-sharing-kan apa yang saya mengerti khususnya untuk setiap pemimpin-pemimpin kelompok (KTB, cell-group), ataupun setiap dari kita yang membina, atau memberikan pengajaran bagi orang lain. Ayat yang saya ingin share-kan terambil dari kolose 4 ayatnya yang ke 5 dan 6:

4:5 Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.
4:6 Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.

Kolose 4 ayat 5 dan 6 menyatakan 2 hal penting bagi kita yaitu supaya kita penuh hikmat, dan penuh kasih.

Pertama, hikmat berarti dengan takut akan Tuhan, berlaku agar: diri kita sendiri tidak terjerumus didalam kesalahan, dan berlaku supaya orang tersebut bertumbuh didalam pengenalannya terhadap Tuhan (sesuai dengan tujuan diatas). Efesus 4:29 pun mengatakan suatu hal yang mirip:

Efesus 4:29 Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.

Suatu pernyataan yang sering kali orang katakan, dan menurut saya terkadang tidak tepat ketika dinyatakan didalam konteks ini yaitu suatu pernyataan "yang penting saya mengatakan apa yang benar" atau "saya lebih takut terhadap Tuhan dan bukan manusia" sehingga dengan pernyataan ini, membenarkan orang tersebut untuk bertindak atau berkata-kata tanpa melihat tujuan diatas (true edification as the final goal). Ketika seorang guru mengajarkan penggunaan rumus matematika, maka guru yang berhasil adalah guru yang dengan sabar mengajar muridnya sehingga murid tersebut mengerti apa yang dikatakan oleh sang guru. Bila sang guru tersebut hanya mengatakan "kebenaran" tersebut tanpa membawa sang murid mengerti apa yang disampaikan, maka "kebenaran" tersebut menjadi "kebenaran" yang sia-sia. Inilah mengapa dikatakan kita harus penuh hikmat. Setiap manusia berbeda, dan untuk menghadapi seorang dan yang lain, kita mungkin memerlukan cara yang berbeda, namun tetap memiliki fondasi yang sama yaitu dengan kasih.

Hal kedua, yang dikatakan adalah supaya kita penuh kasih. Kita mengasihi, karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita. Tuhan telah mendidik, mengajar, dan berelasi dengan kasihNya sehingga saat ini kita bisa mengenal kasih itu. Dan bila Tuhan telah mengasihi kita, bukankah seharusnya kita pun mengasihi sesama kita? Seringkali orang mengatas namakan kebenaran ketika ia menegur / mendidik orang lain. Bagaimana motivasi kita ketika kita berelasi atau membina hubungan dengan orang lain? Kasih dan bukanlah menghakimi. Memang kita harus membedakan mana yang benar dan salah, namun kita harus melakukannya dengan kasih. Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama, sehingga ketika kita berkata-kata, yang kita pikirkan adalah suatu sikap mengasihani diri orang tersebut agar dia boleh bertumbuh didalam Tuhan (have mercy for his dying spirit). 1 Kor 13 menjelaskan kepada kita apa itu kasih dan pentingnya kita memiliki kasih didalam hidup kita. Dikatakan meskipun kita mampu / pandai berkata-kata atau memiliki banyak karunia, namun bila kita tidak memiliki kasih itu semua tidak berguna. Oleh karena itu, biarlah kita meng-koreksi diri kita ketika kita mendidik / menegur orang lain apakah kita melakukannya dengan kasih seperti yang tertulis didalam 1 Kor 13 atau tidak. Apakah kita memiliki kesabaran? kemurahan hati? apakah kita memiliki pride? apakah kita menyimpan kesalahan orang lain? Saya rasa adalah suatu batu sandungan ketika kita mengatakan / mengajarkan kasih kepada orang lain, namun kita tidak menyatakan kasih itu terhadap orang lain. Bagaimana mungkin orang lain (diumpamakan sebagai: murid) akan belajar dari kita (diumpamakan sebagai guru dalam hal ini). Hal ini sama seperti contoh yang saya berikan diatas: bagaimana mungkin seorang murid percaya bahwa gurunya seorang yang mahir piano ketika dia melihat gurunya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mahir dalam piano.

Memang segala sesuatu ada dalam kedaulatan Tuhan, namun pun demikian disisi lain ada tanggung jawab manusia. Inilah tugas kita sebagai murid-murid Kristus, supaya kita penuh akan hikmat dan penuh akan kasih didalam kita berelasi terhadap orang lain. Biarlah diri kita semakin hari semakin menyerupai Kristus, dengan membawa orang makin menyerupai Kristus (menjadi murid Kristus), melalui tindakan kita yang penuh hikmat dan kasih, sehingga nama Tuhan makin dipermuliakan.

Soli Deo Gloria,

PoL

Comments